Saif Al Battar
Jum'at, 26 Agustus 2011 08:27:49
Hits: 1745
Arrahmah.com – Setiap kali memasuki sepuluh hari
terakhir bulan Ramadhan, Rasulullah SAW senantiasa beri’tikaf di dalam
masjid. Beliau meninggalkan semua pekerjaan duniawi dan menyibukkan diri
dalam ibadah mahdhah. Seluruh waktu, pikiran, dan tenaganya dicurahkan
untuk taqarrub, mendekatkan diri kepada Allah SWT. Beliau juga melibatkan anak dan istri-istri beliau dalam kekhusyu’an ibadah.
I’tikaf selama sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan adalah amal
kebajikan yang senantiasa dijaga oleh Rasulullah SAW. Pada tahun beliau
wafat, beliau bahkan beri’tikaf selama dua puluh hari. Tidak heran
apabila para ulama menjelaskan bahwa hokum I’tikaf adalah sunnah
muakkadah. I’tikaf sudah semestinya menjadi amalan andalan orang-orang
shalih, sebagai satu sarana utama untuk meraih lailatul qadar.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا : أنَّ النبيَّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ العَشْرَ الأوَاخِرَ مِنْ
رَمَضَانَ ، حَتَّى تَوَفَّاهُ اللهُ تَعَالَى ، ثُمَّ اعْتَكَفَ
أزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ .
Dari Aisyah RA berkata: “
Nabi SAW senantiasa beri’tikaf pada
sepuluh hari terakhir Ramadhan, sampai Allah SWT mewafatkan beliau.
Sepeninggal beliau, istri-istri beliau juga melakukan I’tikaf.”
(HR. Bukhari no. 2026 dan Muslim no. 1172)
عَنْ أَبي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : كَانَ
النبيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ في كُلِّ رَمَضَانَ
عَشْرَةَ أيَّامٍ ، فَلَمَّا كَانَ العَامُ الَّذِي قُبِضَ فِيهِ اعْتَكَفَ
عِشْرِينَ يَوْماً .
Dari Abu Hurairah RA berkata: “
Dalam setiap bulan Ramadhan, Nabi
SAW melakukan I’tikaf selama sepuluh hari. Namun pada tahun
kewafatannya, beliau SAW melakukan I’tikaf selama dua puluh hari.”
(HR. Bukhari no. 2044)
Banyak kaum muslimin yang telah mengetahui kesunahan dan keutamaan
I’tikaf. Mereka juga memiliki niat yang tulus untuk melakukannya. Hanya
saja, berbagai kendala menghalangi mereka dari I’tikaf. Ada yang harus
bekerja keras untuk menafkahi keluarganya. Ada yang harus pergi kesana
kemari untuk mengajar dan berdakwah. Ada yang harus masuk sekolah. Ada
yang sakit keras atau bepergian jauh. Ada yang memanggul senjata di
medan ribath dan jihad. Dan kendala-kendala lainnya.
Islam adalah agama yang mudah dan memberi kemudahan kepada umatnya.
I’tikaf di masjid memang sunah muakkadah yang sangat efektif untuk
taqarrub dan meraih lailatul qadar. Sungguh beruntung dan berbahagialah
orang yang mampu melakukannya. Namun bagi orang-orang yang tidak mampu
beri’tikaf karena ada udzur syar’i, Islam juga telah memberi banyak
alternatif amalan yang tak kalah keutamaannya dari I’tikaf. Gerangan apa
sajakah amalan alternatif tersebut? Berikut ini sebagian di antaranya.
Pertama, menyediakan makanan berbuka atau makanan sahur untuk orang yang beri’tikaf.
Jika kita menyediakan makanan berbuka atau makanan sahur untuk orang
yang melakukan shaum dan I’tikaf, niscaya kita akan mendapatkan pahala
yang sama dengan pahala shaum dan I’tikafnya. Berdasar hadits shahih,
عن زيد بن خالد الجُهَنِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عن النبي
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : (( مَنْ فَطَّرَ صَائِماً ، كَانَ
لَهُ مِثْلُ أجْرِهِ ، غَيْرَ أنَّهُ لاَ يُنْقَصُ مِنْ أجْرِ الصَّائِمِ
شَيْءٌ ))
Dari Zaid bin Khalid Al-Juhani RA dari Nabi SAW bersabda, “
Barangsiapa
memberi makanan berbuka kepada orang yang melakukan shaum, maka baginya
seperti pahala orang yang shaum, tanpa mengurangi sedikit pun pahala
orang yang shaum.” (HR. Tirmidzi no. 807, Ibnu Majah no. 1746, Ahmad, dan Ibnu Hibban. At-Tirmidzi berkata: Hadits ini hasan shahih)
Kedua, memenuhi kebutuhan sesama muslim yang mengalami kesulitan hidup.
Banyak saudara kita, umat Islam, yang lemah dan miskin. Mereka
kekurangan makanan, kehilangan tempat tinggal atau pekerjaan, sakit
keras namun tidak mampu berobat, dan mengalami kesusahan lainnya.
Menolong mereka dengan memenuhi kebutuhan mereka adalah amal kebajikan
yang pahalanya begitu besar. Pahalanya bahkan lebih utama dari I’tikaf
selama sebulan penuh. Sebagaimana diriwayatkan dalam hadits,
عَنِ ابْنِ عُمَرَ ، أَنَّ رَجُلًا جَاءَ إِلَى رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَقَالَ : يَا رَسُولَ
اللَّهِ أَيُّ النَّاسِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ ؟ وَأَيُّ الْأَعْمَالِ
أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” أَحَبُّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ
أَنْفَعَهُمْ لِلنَّاسِ ، وَأَحَبُّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ سُرُورٍ
تُدْخِلُهُ عَلَى مُسْلِمٍ ، أَوْ تَكْشِفُ عَنْهُ كُرْبَةً ، أَوْ
تَقْضِي عَنْهُ دِينًا ، أَوْ تُطْرَدُ عَنْهُ جُوعًا ، وَلِأَنْ أَمْشِيَ
مَعَ أَخٍ لِي فِي حَاجَةٍ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَعْتَكِفَ فِي هَذَا
الْمَسْجِدِ ، يَعْنِي مَسْجِدَ الْمَدِينَةِ ، شَهْرًا
Dari Ibnu Umar RA bahwasanya ada seorang sahabat mendatangi Rasulullah SAW dan bertanya, “
Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling dicintai Allah SWT?
Dan apakah amalan yang paling dicintai Allah SWT?” Beliau SAW menjawab, “
Orang yang paling dicintai Allah adalah orang yang paling memberi manfaat kepada sesama manusia.
Adapun a
malan
yang paling dicintai Allah SWT adalah engkau menggembirakan hati
seorang muslim, atau engkau menghilangkan sebuah kesulitan hidupnya,
atau engkau melunaskan hutangnya, atau engkau hilangkan kelaparannya. Sungguh
aku berjalan untuk memenuhi kebutuhan seorang saudara muslim lebih aku
senangi daripada aku beri’tikaf di masjid Madinah ini (masjid Nabawi)
selama satu bulan penuh.”
(HR. Ibnu Abi Ad-Dunya
dalam Qadha-u Hawaij no. 36, Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Awsath no.
6204, Al-Mu’jam Ash-Shaghir no. 862, dan Al-Mu’jam Al-Kabir no. 13472.
Dinyatakan hasan li-ghairih dalam tahqiq Al-Mu’jam Al-Kabir dan Shahih
At-Targhib wa At-Tarhib no. 2623. Dinyatakan shahih li-ghairih oleh
Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 906)
Ketiga, memanggul senjata dalam ibadah
ribath, yaitu berjaga-jaga di daerah perbatasan kaum muslimin dengan
daerah musuh, untuk menjaga keamanan kaum muslimin dari serangan
musuh-musuh Islam.
Berbahagialah kaum muslimin yang berjihad di Afghanistan, Pakistan,
Kashmir, Chechnya, Dagestan, Irak, Palestina, Yaman, Somalia,
Tajikistan, dan tempat-tempat lainnya. Kaum muslimin yang lain merasakan
ketenangan suasana tarawih, witir, tadarus Al-Qur’an, dan i’tikaf. Pada
saat yang sama, mujahidin harus senantiasa memeluk erat senjatanya dan
berjaga setiap saat. Mereka melalui waktu mereka dalam ribath dan jihad
demi menegakkan syariat Allah dan membela kaum muslimin dari tentara
Yahudi, Nashrani, musyrikin, dan murtadin.
Demikian beratnya tugas mereka, sehingga nyawa mereka setiap saat
menjadi taruhannya. Allah Yang Maha Pemurah menilai setiap malam yang
mereka lalui dalam ribath dan jihad tersebut sebagai malam yang lebih
baik dari lailatul qadar.
Allahu Akbar wa lillahi al-hamdu! Sebagaimana dijelaskan dalam hadits,
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ، أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : أَلَا أُنَبِّئُكُمْ
بِلَيْلَةٍ أَفْضَلَ مِنْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ ؟ حَارِسٌ حَرَسَ فِي أَرْضِ
خَوْفٍ ، لَعَلَّهُ أَنْ لَا يَرْجِعَ إِلَى أَهْلِهِ .
Dari Ibnu Umar RA bahwasanya Nabi SAW bersabda, “
Maukah aku
beritahukan kepada kalian satu malam yang lebih utama dari lailatul
qadar? Itulah (malam yang dilalui oleh) seorang (mujahid) yang berjaga
di daerah (perbatasan dengan daerah musuh) yang ditakuti. Boleh jadi,
dengan berjaga itu ia tidak bisa kembali kepada keluarganya lagi.”
(HR.
Ibnu Abi Syaibah no. 18962, An-Nasai dalam As-Sunan Al-Kubra no. 7637,
Al-Hakim no. 2382, dan Al-Baihaqi no.16918. Dinyatakan shahih oleh
Al-Hakim dan Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 2811)
Inilah sebagian amalan hebat yang selayaknya menjadi andalan bagi
setiap muslim yang belum mampu melaksanakan sunah Nabi SAW; i’tikaf di
sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Semoga Allah SWT memberi taufiq
kita semua kepada semua ucapan dan amalan yang Allah cintai dan ridhai.
Amien.
Wallahu a’lam bish-shawab
Risalah Ramadhan Arrahmah.com #12
Oleh: Muhib al-Majdi
http://www.arrahmah.com